Di Jalan Dakwah Aku Menikah, sebuah karya Ustadz Cahyadi Takariawan
yang menjelaskan secara gamblang tentang pernikahan yang “benar-benar”
menjadikan Islam dan dakwah sebagai dasarnya. Namun kali ini bukan itu
yang hendak saya bahas, sedikit berbeda: “Di Jalan Dakwah Aku Pacaran”.
Witing tresno jalaran soko kulino
Ungkapan
pepatah jawa ini yang secara garis besar dapat diartikan “cinta tumbuh
dari tingginya intensitas pertemuan” berlaku umum, baik bagi masyarakat
umum maupun mereka yang mendapat label “aktivis dakwah”. Semuanya sama
karena pada dasarnya adalah fitrah manusia yang saling menyukai antara
lawan jenis.
Pertemuan yang begitu intens di setiap rapat, syura, pembahasan teknis, hingga hubungan dua arah via telepon, SMS, chatting, dsb yang pada akhirnya membuat dua orang, pria dan wanita, merasakan kedekatan yang berbeda. Hingga akhirnya chatting,
telepon, SMS, diperpanjang durasinya padahal kebutuhan syar’i sudahlah
selesai dibahas. Atau, karena memang masih panjang pembahasan maka
menyempatkan waktu untuk bertemu, lama sekali, berdua saja. Seolah
terlupa ada pihak ketiga yang senantiasa membisikkan was-was di hati
manusia serta seolah terlupa bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memandang mereka
dengan jelas dan sempurna.
“Kami menjaga hati”, ucap mereka.
Bagaimana
mungkin hati terjaga sedangkan raganya tidak? Mata itu intens menatap
“dia” yang ada di hadapannya, pikiran itu melayang berangan seandainya
“dia” senantiasa berada di sampingnya. Maka entah bagaimana segala macam
alasan dan pembenaran dibuat untuk melegalkan segalanya.
Bukankah masih jelas tulisan nasihat dari ‘alim kita, (alm) Ust. Rahmat Abdullah:
Di mana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau
bergetar dan takut.
Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkau pun berani tampil di depan
seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga
getarannya tak terasa lagi saat maksiat menggodamu dan engkau menikmatinya?
Ya,
lumpur-lumpur dosa yang dilakukan telah membuat hati menjadi beku.
Pembenaran yang dicari-cari membuat kebenaran menghindarkan diri, serta
maksiat yang dilakukan setiap hari seolah menjadi kebutuhan manusiawi.
Tak
ada lagi tembok malu yang menjadi pengangkat kemuliaan, tak ada lagi
jiwa yang takut sepenuhnya kepada Illahi Rabbi, serta tak ada lagi
pemuda yang kritis dan bergelora karena semangatnya padam termakan
kelalaian akhlaqnya. Tak lagi ia berani berkata ini dan itu karena
pikirannya kini hanya tentang “si merah jambu”. Tak lagi terlihat
dahsyatnya gerak kontribusinya karena jiwa yang alpa menghambat raganya,
serta izzah yang biasa terpancar dari matanya redup seketika.
Teringat tulisan Ibnu Qayyim al-Jauzi di dalam buku Miftaahu Daaris-Sa’aadah:
Pada
hakikatnya, hati yang selamat adalah hati yang berserah diri kepada
Tuhannya, yang menyembah-Nya penuh dengan rasa malu, penuh harap, dan
penuh hasrat. Dengan demikian, ia lebur dalam cinta kepada Allah SWT,
dan bersih dari segala sesuatu selain Dia. Ia lebur dalam rasa takut
kepada-Nya, dan tidak ada rasa takut kepada yang lain. Ia lebur dalam
pengharapan kepada-Nya, dan tidak mengharapkan selain Dia. Ia menerima
segala perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya dengan penuh keimanan dan
ketaatan. Ia berserah diri kepada qadha dan qadhar-Nya, sehingga ia
tidak berprasangka buruk, menentang, dan marah terhadap segala
ketetapan-Nya. Ia berserah diri kepada Tuhannya dengan penuh kepatuhan,
kerendahan, kehinaan, dan kehambaannya.
Lalu bagaimana bisa
hati itu tetap terjaga jika ia mencintai yang belum layak dicintai,
melakukan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dengan berjuta
pembenaran, serta mendahului qadha dan qadar Allah seolah tak percaya
akan keputusan terbaik-Nya kelak.
Betapa memang kita jauh dari
kualitas mulia, saat pemuda Gaza menjaga kesucian mereka dan juga
berjihad di jalan Allah Ta’ala, pemuda muslim di Indonesia, yang
mendapat (atau tidak) label “kader dakwah”, masih sibuk dengan urusan
hati merah jambu.
Betapa jauh!